Nasionalisme itu
apa sih? Saya bertanya pada diri sendiri ini. Saya paham betul bahwa
nasionalisme dibentuk dari 2 gabungan kata, nasional dan isme. Nasional berarti
bangsa sendiri dan isme menunjukkan sifat atau karakter, jadi nasionalisme
berarti sifat kebangsaan. Definisi simpel itu selalu menjadi isu hangat dibawah
langit-langit Indonesia hingga sekarang. Namun apakah kita sadar bahwa
apresiasi terhadap penganut sifat kebangsaan ini masih saja kurang dihargai?
terutama pada pelaku seni, lebih spesifik lagi pada pelaku seni muda
tradisional, yang saya sebut the real hero saat ini. Oke, sebaiknya kita
awali dengan menerawang tentang seni tradisional itu sendiri. Siapa itu pelaku
seni muda tradisional? Apa sih peran pentingnya? Seberapa pentingnya dalam menumbuhkan
sifat kebangsaan ini?
Seni dan budaya,
dua kata yang berbeda arti, saling berkaitan, sehingga terkadang disama
artikan. Menurut saya, seni itu variabel x, dan budaya menjadi variabel y. Seni
berpengaruh terhadap budaya, seni merupakan bagian integral dari budaya, dan
seni menggambarkan suatu budaya. Lihatlah kesenian Minangkabau dengan silek galombang dan tari pasambahannya untuk menyambut dan menghormati tetua atau tamu yang datang. Seni yang mengkombinasikan gerak tari dan silat ini memunculkan aura tegas. Ini juga menggambarkan suatu nilai budaya yang dapat dipahami bahwa orang minang itu ramah dan terbuka, namun tidak bisa dibaok lalu. Dengarlah suara merdu sinden jawa. Sinden yang menyanyi dengan
lembut tidak terkira mengartikan bahwa perempuan Jawa itu halus tutur katanya
dan lembut tindak lakunya. Mari kita lihat contoh lainnya, reog ponorogo. Singa
besar itu berwajah garang dan mengibas-ngibas sayap muka bulu meraknya dengan
gagah, yang memunculkan nilai tuntunan melalui empat makna simbolis, amarah,
muthma’inah, alwamah dan sufiyah. Simpul nyata dari tiga contoh di atas adalah
bahwa seni memunculkan nilai-nilai kearifan lokal yang biasa kita sebut budaya.
Namun jika kita berpikir lebih jauh lagi, ternyata seni tradisional tidak
sekedar menggambarkan budaya kedaerahan, namun juga semangat nasionalisme.
Lihat saja ketika salah satu kesenian Indonesia dicuri negara lain, kemarahan
bukan saja muncul dari masyarakat lokal yang dicuri keseniannya, tapi justru
dari seluruh masyarakat di penjuru Indonesia yang terdiri dari ratusan
masyarakat lokal dengan budaya khasnya masing-masing. Bukan pencurian yang
memunculkan semangat nasionalisme, namun lebih dari itu, kesenian daerah
menjadi penyatu masyarakat Indonesia.
Oke, faktanya
adalah anak muda indonesia saat ini sudah tergerus nilai nasionalismenya.
Nilai-nilai kearifan lokal mulai tidak tampak lagi. Mereka buta akan budaya,
bahkan tidak mengenal kesenian daerah mereka sendiri lagi. Mungkin ada beberapa
yang tahu, tapi belum paham. Ada beberapa yang paham, tapi belum melaksanakan
nilai yang terkandung didalamnya. Ketika budaya di satu generasi hilang
tanpa ada generasi berikutnya yang melanjutkan, maka jati diri tidak lagi
menjadi hal yang berharga. Indonesia bisa saja kehilangan jati dirinya,
budayanya, tapi saya tahu ini bukanlah sesuatu yang kita inginkan.
Pepatah mengatakan,
“jika kamu ingin merubah seseorang, ubahlah dari yang terdekat dengannya”. Ketika
ingin menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal melalui seni tradisional
kepada anak muda Indonesia, maka gunakanlah anak muda Indonesia lain sebagai agent
of change, yaitu pelaku seni muda tradisional. Mereka memiliki usia
yang sama, semangat yang sama, namun pola pikir yang sedikit berbeda. Yang
perlu dilakukan adalah pencerdasan dari dan untuk mereka. Pelaku seni muda
tradisional ini ada disekitar kita, mahasiswa, terutama yang tergabung dalam
unit-unit kesenian tradisional di kampus masing-masing. Tidak hanya itu, mereka
pun ada dijalanan, berperan sebagai pengamen seni. Atau yang tergabung dalam
komunitas-komunitas seni budaya anak muda, seperti rumah angklung, kuaetnika,
dan komunitas lainnya.
Dengan peran
pelaku seni muda tradisional, saya yakin lambat laun tren cinta budaya sendiri
akan berkembang lagi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Fenomena ini sudah
saya rasakan sendiri. Unit kesenian yang saya ikuti semakin banyak saja
anggotanya. Banyak event-event kampus yang menawarkan penampilan untuk
unit seni. Evaluasi akan perkembangan seni terus dilakukan. Bayangkan jika
setiap kampus di Indonesia memiliki unit seni yang secara serius mempertahankan
eksistensi budayanya, tentu nasionalisme bukan sebuah kata yang langka lagi,
karena peran anak muda yang dominan.
Meskipun demikian,
tak bisa dipungkiri bahwa menjadi pelaku seni muda tradisional bukanlah hal
mudah. Mereka yang ingin melestarikan tari tradisional masih saja dibayangi
stigma mendayu-dayu oleh anak muda lain. Mereka yang ingin melestarikan
sinden jawa masih saja dibayangi cap kekolotan oleh muda lainnya lagi.
Pencerdasan yang dilakukan masih belum cukup mencabut pandangan-pandangan picik
tersebut. Masih ada yang memandang sebelah mata, hingga akhirnya apresiasi yang
dihasilkan sungguh rendah. Bahkan beberapa orang menilai bahwa pelaku seni muda
tradisional di kampus itu tidak lebih dari sekumpulan orang-orang yang anti
sosial alias ansos.
Bukankah
untuk berdiri di puncak gunung, kita harus mendakinya terlebih dulu? Bukankah
untuk menemukan karang yang indah, kita harus menyelam dan menahan napas
sejenak? Dan untuk menumbuhkan nasionalisme melalui kesenian tradisional,
bukankah pelaku seni muda tradisional harus mendaki tapak semangat dan
menyelami arus konsistensi hingga akhirnya apresiasi datang sejalan dengan
semangat nasionalisme yang muncul. Pelaku seni muda tradisional merupakan salah
satu dari sekian anak muda yang menebang gulma oportunisme, menumbuhkan pucuk
nasionalisme, melalui pelestarian kesenian trasional. Dari paham di atas, aku
memutuskan untuk memilih pelaku seni muda tradisional sebagai the real hero Indonesia
saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar