Jumat, 30 November 2012

seni, muda, budaya, dan nasionalisme


Nasionalisme itu apa sih? Saya bertanya pada diri sendiri ini. Saya paham betul bahwa nasionalisme dibentuk dari 2 gabungan kata, nasional dan isme. Nasional berarti bangsa sendiri dan isme menunjukkan sifat atau karakter, jadi nasionalisme berarti sifat kebangsaan. Definisi simpel itu selalu menjadi isu hangat dibawah langit-langit Indonesia hingga sekarang. Namun apakah kita sadar bahwa apresiasi terhadap penganut sifat kebangsaan ini masih saja kurang dihargai? terutama pada pelaku seni, lebih spesifik lagi pada pelaku seni muda tradisional, yang saya sebut the real hero saat ini. Oke, sebaiknya kita awali dengan menerawang tentang seni tradisional itu sendiri. Siapa itu pelaku seni muda tradisional? Apa sih peran pentingnya? Seberapa pentingnya dalam menumbuhkan sifat kebangsaan ini?

Seni dan budaya, dua kata yang berbeda arti, saling berkaitan, sehingga terkadang disama artikan. Menurut saya, seni itu variabel x, dan budaya menjadi variabel y. Seni berpengaruh terhadap budaya, seni merupakan bagian integral dari budaya, dan seni menggambarkan suatu budaya. Lihatlah kesenian Minangkabau dengan silek galombang dan tari pasambahannya untuk menyambut dan menghormati tetua atau tamu yang datang. Seni yang mengkombinasikan gerak tari dan silat ini memunculkan aura tegas. Ini juga menggambarkan suatu nilai budaya yang dapat dipahami bahwa orang minang itu ramah dan terbuka, namun tidak bisa dibaok lalu. Dengarlah suara merdu sinden jawa. Sinden yang menyanyi dengan lembut tidak terkira mengartikan bahwa perempuan Jawa itu halus tutur katanya dan lembut tindak lakunya. Mari kita lihat contoh lainnya, reog ponorogo. Singa besar itu berwajah garang dan mengibas-ngibas sayap muka bulu meraknya dengan gagah, yang memunculkan nilai tuntunan melalui empat makna simbolis, amarah, muthma’inah, alwamah dan sufiyah. Simpul nyata dari tiga contoh di atas adalah bahwa seni memunculkan nilai-nilai kearifan lokal yang biasa kita sebut budaya. Namun jika kita berpikir lebih jauh lagi, ternyata seni tradisional tidak sekedar menggambarkan budaya kedaerahan, namun juga semangat nasionalisme. Lihat saja ketika salah satu kesenian Indonesia dicuri negara lain, kemarahan bukan saja muncul dari masyarakat lokal yang dicuri keseniannya, tapi justru dari seluruh masyarakat di penjuru Indonesia yang terdiri dari ratusan masyarakat lokal dengan budaya khasnya masing-masing. Bukan pencurian yang memunculkan semangat nasionalisme, namun lebih dari itu, kesenian daerah menjadi penyatu masyarakat Indonesia.

Oke, faktanya adalah anak muda indonesia saat ini sudah tergerus nilai nasionalismenya. Nilai-nilai kearifan lokal mulai tidak tampak lagi. Mereka buta akan budaya, bahkan tidak mengenal kesenian daerah mereka sendiri lagi. Mungkin ada beberapa yang tahu, tapi belum paham. Ada beberapa yang paham, tapi belum melaksanakan nilai yang terkandung didalamnya. Ketika budaya di satu generasi hilang tanpa ada generasi berikutnya yang melanjutkan, maka jati diri tidak lagi menjadi hal yang berharga. Indonesia bisa saja kehilangan jati dirinya, budayanya, tapi saya tahu ini bukanlah sesuatu yang kita inginkan.

Pepatah mengatakan, “jika kamu ingin merubah seseorang, ubahlah dari yang terdekat dengannya”. Ketika ingin menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal melalui seni tradisional kepada anak muda Indonesia, maka gunakanlah anak muda Indonesia lain sebagai agent of change, yaitu pelaku seni muda tradisional. Mereka memiliki usia yang sama, semangat yang sama, namun pola pikir yang sedikit berbeda. Yang perlu dilakukan adalah pencerdasan dari dan untuk mereka. Pelaku seni muda tradisional ini ada disekitar kita, mahasiswa, terutama yang tergabung dalam unit-unit kesenian tradisional di kampus masing-masing. Tidak hanya itu, mereka pun ada dijalanan, berperan sebagai pengamen seni. Atau yang tergabung dalam komunitas-komunitas seni budaya anak muda, seperti rumah angklung, kuaetnika, dan komunitas lainnya.

Dengan peran pelaku seni muda tradisional, saya yakin lambat laun tren cinta budaya sendiri akan berkembang lagi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Fenomena ini sudah saya rasakan sendiri. Unit kesenian yang saya ikuti semakin banyak saja anggotanya. Banyak event-event kampus yang menawarkan penampilan untuk unit seni. Evaluasi akan perkembangan seni terus dilakukan. Bayangkan jika setiap kampus di Indonesia memiliki unit seni yang secara serius mempertahankan eksistensi budayanya, tentu nasionalisme bukan sebuah kata yang langka lagi, karena peran anak muda yang dominan.

Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa menjadi pelaku seni muda tradisional bukanlah hal mudah. Mereka yang ingin melestarikan tari tradisional masih saja dibayangi stigma mendayu-dayu oleh anak muda lain. Mereka yang ingin melestarikan sinden jawa masih saja dibayangi cap kekolotan oleh muda lainnya lagi. Pencerdasan yang dilakukan masih belum cukup mencabut pandangan-pandangan picik tersebut. Masih ada yang memandang sebelah mata, hingga akhirnya apresiasi yang dihasilkan sungguh rendah. Bahkan beberapa orang menilai bahwa pelaku seni muda tradisional di kampus itu tidak lebih dari sekumpulan orang-orang yang anti sosial alias ansos.

Bukankah untuk berdiri di puncak gunung, kita harus mendakinya terlebih dulu? Bukankah untuk menemukan karang yang indah, kita harus menyelam dan menahan napas sejenak? Dan untuk menumbuhkan nasionalisme melalui kesenian tradisional, bukankah pelaku seni muda tradisional harus mendaki tapak semangat dan menyelami arus konsistensi hingga akhirnya apresiasi datang sejalan dengan semangat nasionalisme yang muncul. Pelaku seni muda tradisional merupakan salah satu dari sekian anak muda yang menebang gulma oportunisme, menumbuhkan pucuk nasionalisme, melalui pelestarian kesenian trasional. Dari paham di atas, aku memutuskan untuk memilih pelaku seni muda tradisional sebagai the real hero Indonesia saat ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar