Kamis, 12 Agustus 2010

Masyarakat Adat sebagai Pengendali Sumber Daya Alam

Masyarakat suku pedalaman di Papua memberontak kepada pemerintah dan PT. Freeport. Suku Dayak Bentian dan PT. Roda Mas Timber Kalimantan sama-sama menyatakan klaim atas sepetak lahan yang luas. Dan masih banyak diskriminasi atas masyarakat adat yang tak “terdokumentasi” di Indonesia. Apakah inti masalah dari kasus-kasus ini? Siapa yang patut disalahkan? apa hal yang terlewatkan pemerintah? Saya tidak menemukan hal-hal yang simple dalam kumpulan problematika klasik ini. Masalah ini pun telah dimulai sejak dulu ketika masa penjajahan di Indonesia awal abad ke 17. Saat itu pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan aturan tentang kepemilikan tanah pribumi yang dibatasi bahkan tidak di akui. Apakah mental penculik ini turun ke darah dan nadi pemerintah dan pengusaha pertambangan atau kehutanan? Saya akan membahas di setiap sisi stakeholder-nya.

Masyarakat Adat

Masyarakat adat sendiri dalam defenisi nya masih bias. Komunitas seperti apa yang di sebut sebagai masyarakat adat? Apakah masyarakat adat memiliki batas wilayah? Ketika warganya semakin banyak, apakah wilayah otoritasnya semakin diperluas? Menurut hemat saya masyarakat adat adalah orang-orang dari keturunan yang sama, yang tinggal di daerah yang sama, memiliki tujuan yang sama, dan patuh pada peraturan adat yang sama pula, yang memiliki nilai-nilai religius, eksotik, dan sosial yang harus dilestarikan. Hak dari mereka sendiri tidak banyak, antara lain wilayah otoritas, kewenangan untuk menentukan nasib sendiri dan mempertahankan nilai-nilai, serta tentunya mengolah sumber daya alam wilayahnya sendiri.
Negara pun mangakui keberadaan masyarakat adat, tercantum dalam UU no. 41 tahun 1999 pasal 67 ayat 1 yang berbunyi: Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Eksistensi masyarakat adat juga telah di akui oleh PBB, bahkan telah membentuk komunitas sedunia (kalau di Indonesia ada AMAN atau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Komunitas masyarakat adat sedunia memiliki hak atau pengaruh atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang akan di rancang jika itu berkaitan dengan kepentingan mereka. Namun sayangnya dalam hubungan antara perusahaan dan masyarakat adat di Indonesia, pemerintah belum melakukan perundingan yang mencapai mufakat bersama, tapi malah menyerahkan tugas sebagai negosiator kepada perusahaan dalam hal ini pengusaha yang akan melakukan pemanfaatan alam. Sehingga terjadi ketimpangan kepentingan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah seperti contoh di awal. Dan inilah yang disebut dengan asymmetric of interest dimana satu pihak hanya mementingkan kepentingannya, tidak dengan kepentingan yang lain. Apa yang harus dirumuskan dalam masyarakat adat ini? Yang pertama adalah penentuan batas wilayah masyarakat adat yang sah menurut hukum dan diterima oleh mereka sendiri. Jika perlu masyarakat harus mendaftarkan diri sebagai komunitas adat yang memiliki wilayah otoritas kepada pemerintah, dan dengan ketentuan-ketentuan yang telah dipenuhi, pemerintah harus memfasilitasinya. Yang kedua merumuskan hukum-hukum adat secara tertulis dan sah menurut hukum, sehingga peraturan-peraturan tidak tertulis selama ini, yang bersifat ambigu dan kepastiannya tidak dapat dipercaya dapat terealisasikan dalam bentuk kumpulan hukum legal dalam masyarakat adat. Mungkin akan terlihat seperti kecamatan atau bahkan kebupaten yang memiliki hak otonomi, tetapi ini perlu sehingga tidak sulit untuk membedakan antara tanah negara dengan tanah ulayat atau adat, walaupun semua sumber daya tanah, air, hutan dan bahan mineral adalah milik negara.

Pemerintah

Pemerintah juga memiliki fungsi sebagai mediator dan fasilitator antara masyarakat adat dengan perusahaan. Pemerintah telah mewajibkan penerapan GCG di setiap perusahaan dengan menerapkan nilai-nilai good corporate dalam badan dan jiwa perusahaan. Selain itu, dalam ketentuan umum Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan pasal 6 berbunyi: Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan. Pemerintah perlu menyelaraskan pelaksanaan pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat dan pengusaha agar sesuai dengan UU yang ada.
Dalam masalah kawasan, bagaimana jika tanah masyarakat adat berada di dalam ruang lingkup tanah negara? Solusinya adalah membiarkan masyarakat adat melakukan aktivitas di daerah tersebut dengan tidak bertentangan dengan UU yang berlaku, atau memindahkan masyarakat adat itu sendiri. Pilihan nomor 2 ini sudah pernah terjadi di daerah asal saya sekitar tahun 2004, yaitu Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Solok. Saat itu Bupati Solok bersama aparat pemerintahan lainnya suskes memobilisasi tempat tinggal dua komunitas adat yang berada di pedalaman hutan yang terisolasi ke tempat yang lebih baik dalam hal akses dan kesuburan tanah. Dan keputusan tersebut juga disetujui oleh masyarakat adat sendiri. Tidak hanya pemindahan, pemerintah pun melakukan perbaikan fasilitas dan pemberdayaan. Mulai dari tempat tinggal, fasilitas umum dan lahan usaha hingga santunan dan pelatihan keterampilan. Disinilah terlihat bahwa fungsi pemerintah sebagai fasilitator terlaksana dengan baik.

Pengusaha

Pada strukur kepemimpinan perusahaan, direksi lah yang bertugas untuk menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingan, maksud dan tujuan. Kepentingan perusahaan disini, adalah keseimbangan antara kepentingan para pemegang saham dan kepentingan para pekerja. namun pada implementasi tujuan perusahaan tersebut, juga tidak boleh mengganggu kepentingan stakeholder external perusahaan. Pada kasus ini yaitu masyarakat adat.
Kewajiban penerapan CSR saat ini pun mengharuskan setiap perusahaan tidak hanya beroperasi dengan menciptakan laba bagi para shareholder-nya, tetapi juga memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar dan lingkungan. Minimal dengan tidak mengganggu kehidupan mereka. Dengan adanya kewajiban itu, diharapkan perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan masyarakat adat beroperasi dengan mengindahkan peraturan-peraturan tersebut.
Pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang berdalih dari tanggung jawab. Salah satu contoh kasus yang menunjukkan bahwa perusahaan memberikan kompensasi yang sangat minim bahkan tidak sama sekali untuk masyarakat sekitar terjadi pada PT Freeport. Kompensasi yang didapat tidak sesuai atau berselisih jauh dari total keuntungan yang didapat perusahaan tersebut.
Pada akhirnya jika ada pengusaha yang ingin mengeksplorasi daerah milik masyarakat adat, pengusaha tersebut harus memberi penjelasan tentang maksud dan tujuan kepada pemeritah daerah dan pemerintah sebagai mediator harus menyeimbangkan kepentingan, hak dan kewajiban setiap pihak. Keputusan akhir ada pada masyarakat adat, jika mereka bersedia, maka pengusaha dapat mendirikan usaha didaerah tersebut tentu dengan tanggung jawab sosial dan kompensasi yang berhak dan layak diterima masyarakat adat. Namun jika tidak bersedia, pengusaha tetap saja tidak diizinkan untuk beroperasi disana. Tentu konsep ini terlihat sangat simple, tapi pada realita nya sendiri masing-masing pihak memiliki kepentingan yang tersendiri pula. Yang dibutuhkan disini adalah komitmen dan tanggung jawab yang tinggi dari setiap sisi pemangku kepentingan.

2 komentar:

  1. Dengan adanya otonomi daerah sekarang bermunculan raja-raja kecil di daerah

    BalasHapus
  2. trim's bapak syaiful..
    hmm.. ya, asalkan semua ada batasan, menurut saya raja-raja kecil itu tidak bisa bertindak sewenang-wenang, malah dengan tidak adanya otonomi daerah alias cuma ada satu raja besar, pembangunan akan terpusat di satu atau beberapa titik, like djakarta doeloe..

    BalasHapus