Ada
sebuah ungkapan “walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total penduduk,
tetapi menentukan 100 persen masa depan bangsa”. Ini berarti maju tidaknya
sebuah bangsa, sangat tergantung dari kualitas generasi mudanya. Dan kualitas
generasi muda tersebut sangat tergantung dari bagaimana cara ia dididik dan
dibesarkan oleh keluarganya, terutama oleh seorang ibu.
Bukan
ayah kota, tapi ibu kota. Bukan ayah negara, tapi ibu negara. Bukan ayah
pertiwi, tapi ibu pertiwi. Dari istilah-istilah tadi dapat kita simpulkan
secara jelas seberapa pentingnya peran ibu didalam dunia ini, terutama perannya
dalam mempersiapkan generasi pemimpin. Saya ingin mengutip sebuah ucapan
sesorang yang sangat menggambarkan peran seorang ibu, ia mangatakan bahwa “Ibu
adalah madrasah pertama, bahkan sebelum seorang anak manusia melihat fana
dunia. Kasih sayang ibu telah menyemai di buai rahim. Tidak ada lagi kasih
manusia setinggi kasih ibu. Cintanya menjamah setiap insan hingga tumbuh
mandiri utuh sebagai pribadi”. Ini jelas mengartikan bahwa sentuhan lembut
seorang ibulah yang menumbuhkan sesosok anak yang kelak akan menjadi penerus
bangsa. Wajar jika dalam pandangan islam, sosok Ibu diposisikan sebagai figur
sentral pendidikan dengan menjadikannya sebagai madrasah partama bagi anak.
Namun
pertanyaan yang muncul saat ini adalah cukupkah hanya dengan peran seorang ibu,
anak dapat menjadi generasi pemimpin berikutnya? Ini diibaratkan sebagai upaya
dengan permasalahan multifaktor yang berada dibelakangnya, sehingga membutuhkan
pihak-pihak lain untuk memecahkan masalah yang ada hingga akhirnya cita-cita
bersama ini dapat diwujudkan. Guru adalah jawabannya. Guru merupakan pasangan
yang apik dengan peran yang sepadan seperti seorang ibu.
Ya,
benar. Dibutuhkan peran seorang guru untuk membekali dengan kecerdasan
intelektual yang identik dengan kecerdasan otak tetapi juga kecerdasan hati
untuk berbuat kebaikan. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Guru adalah garda
terdepan menyukseskan visi dan misi pendidikan nasional Indonesia. Termaktub
dalam UU no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3,
disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab." Maka dari itu, tugas guru bukan
tugas main-main. Di tangannya ada tugas berat, mencerdaskan anak bangsa. Cerdas
dari segi intelektual, emosional dan spiritual.
Ibu
dan guru di sekolah ibarat dua gugus fosfat atau double helix yang membentuk
ikatan dalam sebuah DNA. Ia saling melengkapi satu sama lain, hingga akhirnya
membentuk struktur yang lengkap dan dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Begitu juga ibu dan guru disekolah. Ibu tidak akan berhasil menjadikan anaknya
sebagai generasi pemimpin tanpa adanya aliran pengetahuan yang disalurkan
seorang guru. Begitu juga guru, ia tidak akan berhasil mengajarkan anak
didiknya tanpa nilai-nilai dasar dan mulia yang ditanamkan ibunya sejak kecil.
Dengan peran double helix ini, upaya untuk menelurkan benih-benih pemimpin
bangsa bisa untuk direalisasikan.
Namun
saat ini perubahan zaman telah mempengaruhi institusi keluarga. Jumlah wanita
yang bekerja di luar rumah semakin meningkat. Ibu lebih mementingkan
aktualisasi diri tanpa batas ketimbang kepentingan keluarganya sendiri.
Mengingat tahun-tahun pertama kehidupan anak adalah sangat penting untuk
membentuk ikatan yang kuat dan menanamkan nilai-nilai dasar, maka pemisahan
dini antara ibu anaknya dapat mempengaruhi proses ini. Begitu juga fenomena
yang terjadi di dunia sekolah saat ini. Tidak ada anak sekolah yang tidak
mengenal internet. Anak-anak didik saat ini juga membutuhkan metode-metode baru
yang tidak membosankan dalam pengajaran. Dan tiap anak didik berasal dari latar
belakang keluarga yang semakin beragam dengan permasalahan yang beragam pula.
Kondisi-kondisi seperti itu menuntut guru untuk tidak hanya sekedar datang ke
kelas, mengajar, lalu membubarkan kelas. Guru harus semakin melek akan
teknologi. Guru harus mencoba berbagai metode pengajaran yang cocok untuk
kelas-kelas tertentu. Guru pun dituntut untuk memahami benar kondisi anak
didiknya, jangan sampai proses belajar mengajar mereka ikuti gagal karena
masalah yang sedang mereka alami. Semoga dengan adanya seminar ini, peran
double helix antara ibu dalam keluarga dan guru di sekolah dapat menciptakan
suatu kolaborasi yang dahsyat dalam mempersiapkan anak menjadi generasi
pemimpin dan penerus bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar