Jumat, 25 Januari 2013

tari urak langkah


tari tunggak titian

curug malela


Hari lalu begitu berbeda dari biasanya. Sayang saja jika tidak saya abadikan kedalam tulisan ini. Begini ceritanya, dua hari sebelumnya khalid dan rahmat berencana untuk berekspedisi ke salah satu curug di Bandung Barat untuk menghilangkan penat skripsinya, hehe. Mereka mengajak saya dan lima sahabat gamus lainnya untuk ikut, ada ragil, halim, amir, atik, fatimah, dan tak lupa thoriq, adiknya khalid. Mereka berencana untuk pergi ke curug Malela, kami menyebutnya sebagai air terjun niagara versi jawa. Kalian akan setuju jika langsung berkunjung kesana.

Perjalanan mulai dipagi hari, berkumpul jam 7, di depan sekre Gamus.  Hingga akhirnya jam setengah sembilan, kami berangkat dengan lima motor. Perjalanan di awal cukup menyenangkan, karena hari cerah dan ketidaktahuan akan medan. Kira2 satu jam sudah perjalanan kami menuju curug, kami memutuskan untuk berhenti di salah satu toko minimarket untuk membeli makanan dan minuman sebagai bekal. Kasir mini market tersebut bilang bahwa perjalanan kami masih akan lama, kira-kira lebih dari sejam perjalanan lagi. Ya, paling tidak kami sudah bertemu dengan mbak kasir yang cantik ini. Hehe..

Kami menjadi semakin penasaran dengan tempat ini. Perjalananpun dilanjutkan hingga kami sampai di depan gerbang yang bertuliskan “selamat datang di curug malela”. Tapi sejauh ini kami masih senang-senang saja, karena  perjalanan masih nyaman. Hingga kondisi jalan sudah mulai menampakkan kesangarannya, kami mulai ragu. Jalan sama sekali tidak diaspal, hanya jalan bertanah. Kondisi setelah hujan pun menyebabkan beberapa jalur  berlumpur. Selain tanah, becek, dan terjal, kondisi jalan pun diperburuk karena banyak batu-batu sebesar genggaman tangan orang dewasa. Sesekali yang dibonceng harus turun karena motor tidak kuat untuk mendaki atau melewati lumpur. Balik arah bukan jawaban yang tepat, karena kami sudah setengah perjalanan. Kami tetap melanjutkan perjalanan meskipun motor saya sudah menangis rintih. Hiks..




Sudah sekitar empat jam kami diatas motor dan sudah empat jam pula motor ini tak berhenti di gas. Dua dari lima motor kami adalah matic. Bukti kalau perjalanan ini sangat melelahkan terlihat dari kondisi motor yang berlumpur, dan bau mesin yang menyengat. Seharusnya memang ada waktu jeda untuk mengistirahatkan motor ketika diperjalanan, namun kami terus melaju tanpa peduli. Ini menjadi pelajaran bagi kami untuk mengetahui medan terlebih dulu sebelum berangkat ke suatu tujuan dan pastinya besok akan menjadi waktu yang tepat untuk service motor.

Di penghujung jalan setapak itu, ada beberapa motor yang terparkir. Kami yakin ini lah lokasinya. Kami tersenyum lebar, lebar sekali, lalu memarkir motor dan istirahat sebentar di warung untuk makan dan shalat zuhur. Beberapa menit saat makan, hujan turun. Jalan menjadi sedikit becek. Tapi setelah makan, hari kembali terang. Kami memutuskan untuk berangkat langsung agar tidak terlalu sore kembali dari curug. Perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki. Kondisi jalan setapak cukup baik, di awal. Setelah berjalan sekitar  200 m, kami bisa melihat curug dari atas. Sungguh mengagumkan. Curug ini terlihat lebih lebar dibanding curug lain yang pernah kami temui. Airnya mengalir diantara bukit-bukit hijau yang ditumbuhi banyak pohon, terutama pohon cemara. Namun ada beberapa puncak yang hanya ditumbuhi rumput hijau. Terlihat seperti lapangan golf, namun tidak landai. Pemandangan yang sangat indah ini kami rasa belum cukup untuk membayar perjalanan yang sangat melelahkan. Ya, kami harus turun untuk benar-benar bisa menikmati air yang dingin itu. Demi membayar kepenatan dan pengorbanan. Haha..



Kami berjalan lebih kebawah lagi, namun kondisi jalan tidak seperti sebelumnya. Kami harus melewati jalan tanah licin yang kecil dan curam.  Atik dan fatimah cukup sulit untuk melewati jalan kecil ini, mungkin karena gender, hehe. Beberapa kali mereka tergelincir dan hampir terjatuh, untung saja ada 7 jejaka yang suka menolong. Bukan hanya atik dan fatimah yang mengalami kesulitan melalui perjalanan setapak ini. Kami para lelaki pun dibuat cukup kewalahan karena beban yang cukup banyak, makanan, meskipun tidak terlalu berat. Meski begitu kami cukup senang karena berjalan bersama-sama. Sebelum sampai di tujuan, kami disuguhi pemandangan-pemandangan lain yang cukup indah, seperti sawah yang tepiannya ditumbuhi bunga-bunga kecil berwarna putih, air terjun kecil yang jernih, dan undukan bukit-bukit yang hijau. Tinggal beberapa langkah lagi sampai ke curug, kami bertemu warga yang hendak naik kembali ke atas. Ia mengingatkan kami untuk tidak berbuat hal yang ceroboh, karena baru saja ada pengunjung yang pingsan karena tenggelam di hilir curug. Hmm, oke..

Akhirnya kami sampai di curug malela. Derasnya air terjun memancarkan pelangi kecil. Tingginya kira-kira 10 meter dan lebarnya 20 meter. Air yang jatuh dan menghempas ke batu menciptakan embun sejuk dan membasahi daun-daun disekitarnya. Meskipun arus nya deras, aliran ditepian tidak terlalu. Bermain-main air ditepian kami rasa tidak terlalu berbahaya. Dilokasi itu tidak hanya ada kami yang bersembilan orang. Ada beberapa orang lain juga yang mengunjungi, mulai dari tim mapala yang mencapai puluhan orang, hingga keluarga-keluarga kecil lain. Mereka juga bermain air dengan senang. Satu hal yang pasti tidak akan lupa untuk dilakukan adalah mendokumentasikan momen-momen penting disana. Meskipun ada kamera rahmat, khalid dan halim tetap saja ingin difoto dengan kamera BBnya sendiri, untuk dijadikan DP katanya. Mereka sibuk mencari spot-spot dengan latar belakang air terjun dan gaya mirip andika kangen band, terutama halim, haha.









Kami menghabiskan waktu kira-kira satu jam menikmati pemandangan ini. Waktunya untuk mendaki lagi ke atas. Saya, khalid, thoriq, dan fatimah memutuskan untuk tidak memakai alas kaki agar tidak terlalu licin mendakinya. Perjalanan ke atas tidak sesulit seperti sebelumnya. Langah kami cukup cepat hingga sampai dipenghujung jalan bertanah. Tiba-tiba hujan turun, padahal perjalanan menuju basecamp (read: warung) masih cukup jauh. Karena hujan yang turun, kami melangkah lebih cepat daripada biasanya. Belum sampai benar di warung, kami berhenti sejenak di saung kecil untuk berteduh dan istirahat sejenak. Atik dan fatimah sangat memanfaatkan sedikit waktu ini untuk benar-benar beristirahat. Atik bahkan minum teh hangat untuk menghilangkan masuk anginnya. Selingan canda dari ragil cukup menghibur kepenatan kami dan perjalanan terus dilanjutkan.

Akhirnya kami sampai di warung tempat beberapa barang dan helm kami titipkan. Suasana yang cukup ramai disana, karena wisatawan sudah bersiap-siap untuk pulang, namun jalan sangat basah dan licin sehingga motor sulit untuk mendaki. Bahkan ada yang meminta bantuan warga untuk mendorong motornya sampai di jalan yang cukup keras, termasuk kami nantinya. Sekarang kami lebih baik membersihkan kaki dan tangan dulu serta siap-siap untuk shalat ashar. Setelah shalat dan istirahat sejenak, kami siap untuk kembali menuju bandung. Motor kami kembali memutar rodanya untuk melintasi jalanan penuh tantangan ini bersama matahari yang mulai tenggelam menuju peraduan. Azan maghrib sudah terdengar saup-saup, namun kami masih diperjalanan berbatu ini. Oke, lebih baik kita shalat maghrib dulu.



Tidak berlama-lama, setelah shalat maghrib kami langsung berangkat lagi bersama dinginnya gelap malam. Satu setengah jam sudah kami lewati, jalanan pun sudah dalam kondisi baik dan beraspal, meskipun masih ada beberapa lubang yang mengganggu perjalanan. Bagaimana tidak, amir dengan motornya yang bisa dibilang aus itu sudah beberapa kali menghantam lubang dijalan. Prang.. prang.. begitu bunyi motornya ketika tidak bisa menghindari beberapa lubang yang cukup besar. Motor saya pun beberapa kali mengalami hal yang sama, mungkin karena malam yang semakin gelap, fisik yang sudah capai, ditambah pula mata yang minus 1. Saya rasa sudah bertambah sekarang.

Stamina kami tidak diragukan lagi benar-benar sudah menurun, namun fokus untuk mengendarai motor tetap harus dijaga. Amir sempat kehilangan fokusnya waktu itu. Ia tiba-tiba bergerak ke arah kiri, dan kehilangan kendali motornya. Amir nge-rem mendadak, namun karena jalan yang berpasir amir hampir terhempas oleh motornya. Untung saja kaki kanan yang menahan tanah, membantu amir untuk mengontrol stang motornya. Akhirnya amir terhenti di got yang cukup sempit namun dalam. Ban motor berada dalam posisi silang, sehingga motor tidak jatuh ke dalam got itu.  teman-teman yang lain sudah duluan di depan, tapi saya dan halim berada tepat dibelakang amir waktu itu. Kami bertiga langsung memindahkan motor itu keposisi yang benar. Kami kembali mengendarai motor, pelan dan hati-hati. Ketika bertemu lagi dengan teman-teman yang lain, ragil beralih memegang kendali motor amir, halim membawa motor ragil, sedangkan amir saya bonceng.

Bukan hanya kami yang mengalami perjalanan sulit  karena kondisi jalan yang buruk waktu itu. Ada dua orang bapak dengan motornya yang terhempas karena melewati lubang jalan beton yang lumayan lebar. Meskipun tidak terlalu parah, tapi mereka mengalami beberapa luka dan lecet pada motornya. Ragil berbaik hati memberikan air mineralnya untuk membersihkan luka bapak itu. Saya dan amir juga berada tepat dibelakang mereka, hanya saja jarak kami tidak terlalu dekat. Jika saja jaraknya dekat, mungkin kami akan menabrak bapak tadi dan ikut terjatuh. Ucapan syukur berulang-ulang saya ucapkan dalam hati.

Plang jalan menunjukkan perjalanan kami masih sekitar 45 menit lagi. Kami memutuskan berhenti untuk makan malam dulu, sekalian mengistirahatkan motor yang telah lelah ini sejenak. Di pinggir jalan ada pedagang kaki lima yang berjualan pecel lele. Meskipun tidak terlalu nikmat, yang penting makan, karena perut ini benar-benar membutuhkan sesuatu untuk diolah.

Perjalanan kami lanjutkan kembali. Dinginnya malam membuat hasrat untuk cepat sampai ke kosan terus bergejolak, berimbas pada tarikan gas yang kencang terus menerus. Tidak terasa akhirnya kami sampai di dayeuh kolot, melewati jalan soekarno hatta yang sepi. Kami berkumpul di kampus lebih dulu sebelum pulang ke kosan masing-masing. Selain untuk mengambil sepeda, hitung-hitungan juga diselesaikan pada saat itu juga, kecuali hitung-hitungan saya dengan halim. Sesekali saya berpikir kenapa dinamakan curug MALELA, dan saya sudah tahu persis jawabannya. Pastilah karena perjalanannya sangat MALELAhkan, namun kami tetap puas.